Penggemarku

Jumat, 26 Mei 2017

Bani Abbasiyah

PERIODESASI KEKHALIFAHAN BANI ABBASIYAH

Periode Pengaruh Persia Pertama (132 H./750 M.–232 H./847 M) Pada priode ini pemerintahan Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam. Namun setelah periode ini berakhir pemerintahan Abbasiyah mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus Perkembangan. Salah satu ciri pemerintahan Abbasiyah pada priode pertama ini adalah adanya unsur non Arab yang memengaruhinya seperti Persia dan Turki. Pada awal pemerintahannya Abbasiyah lebih cenderung seperti pemerintahan Persia, di mana raja memunyai kekuasaan yang absolut yang mendapatkan mandat langsung dari Tuhan.

Sebenarnya masa pemerintahan pendiri dinasti Abbasiyah sendiri sangat singkat, hanya berlangsung sekitar empat tahun yakni tahun 750 M.–754 M. Maka sebenarnya di balik kesuksesan dimulai pada khalifah berikutnya, yaitu Abû Ja‘far al-Manshûr (754 –775 M.). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari golongan Mu'awiyah yang masih tersisa, kaum Khawarij dan Syiah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaan, tokoh-tokoh yang mungkin menjadi saingannya, satu persatu disingkirkan. Salah satu buktinya, Abdullâh ibn ‘Alî (Gubernur Syria) dan Shâlih ibn ‘Alî (Gubernur Mesir), keduanya memiliki jabatan gubernur pada saat khalifah sebelumnya, dan keduanya dibunuh oleh Abû Muslim al-Khurasânî atas perintah Abû Ja‘far. Bahkan Abû Muslim juga akhirnya dihukum mati pada tahun 755 M., karena dikhawatirkan menjadi ancaman bagi kekuasaan.

Pada mulanya, ibu kota negara dinasti Abbasiyah adalah Al-Hasyîmiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan stabilitas negara, akhirnya ibukota dipindahkan ke kota yang baru dibagun yaitu Baghdad. Dekat bekas ibukota persia, Ctesophon, tahun 762 M. Sedangkan puncak keemasan dinasti Abbasiyah ini berada pada pemerintahan tujuh khalifah berikutnya, yaitu Al-Mahdî (775–785 M.), Al-Hâdî (775–786 M.) Hârûn ar-Rasyîd (786-809) Al-Ma'mûn (813-833 M.) Al-Mu‘tashim (833-842 M.) Al-Watsîq (842-847 M.) dan Al-Mutawakkil (847-861 M.).
Pada masa khalifah Hârûn ar-Rasyîd dan puteranya Al-Ma'mûn, Dinasti Abbasiyah benar-benar mencapai puncak keemasannya. Kekayaan yang melimpah dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, kesehatan dan pendidikan. Ar-Rasyîd juga membangun rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Sehingga pada masanya sudah ada sekitar 800 dokter.

Al-Ma'mûn, pengganti Hârûn ar-Rasyîd, dikenal sebagai Khalifah yang  sangat cinta kepada Ilmu. Pada masa ini terjadi gerakan penerjemahan buku-buku asing yang luar biasa. Bahkan tidak jarang khalifah menggaji para ahli penerjemah buku dari golongan Kristen dan dari agama lain yang ahli dalam bidang penerjemahan. Dia juga banyak membangun lembaga pendidikan, di antaranya Bait al-Hikmah, sebagai pusat penerjemahan yang juga berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.

Pada masa ini pula mulai bermunculan imam-imam madzhab empat, mulai dari Imam Abû Hanîfah (700-767 M.) di Kufah, Imam Mâlik (713-795 M) di Madinah, Imam Asy-Syâfi‘î (767-820 M.) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M.)
Terdapat beberapa faktor yang mendorong periode pertama mencapai keemasan, yaitu: pertama, adanya asimilasi dalam dinasti Abbasiyah. Unsur-unsur non arab (terutama Persia) dalam pembinaan peradaban Islam telah mendatangkan kemajuan di banyak bidang. Kedua, kebijaksanaan pemerintah yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban daripada perluasan wilayah. Dan yang paling banyak memengaruhi perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam pada periode ini adalah unsur kebudayaan yunani.

Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh persia sangat kuat dalam bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan, pengaruh yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam berbagai bidang ilmu, terutama filsafat.

Pada masa Al-Mu‘tashim (833-842 M.) terdapat kesempatan yang terbuka lebar bagi orang-orang Turki untuk masuk ke dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti peperangan telah dihentikan. Para tentara diberi pembinaan khusus untuk menjadi prajurit-prajurit yang profesional, dengan demikian kekuatan militer dinasti Abbasiyah menjadi lebih kuat

Periode Pengaruh Turki Pertama (232 H./847 M.–334 H./ 945 M.)
Periode ini ditandai dengan kebangkitan orang Turki, dan salah satu cirinya adalah orang Turki memegang jabatan penting dalam pemerintahan. Hal ini terbukti dengan dibangunnya kota Samara oleh Al-Mu‘tashim. Pilihan Al-Mu‘tashim memasukkan unsur Turki dalam ketentaraan dilatarbelakangi oleh adanya persaingan antar golongan Arab dan Persia sejak masa Al-Ma'mûn.  namun setelah kekuasaan berpindah di tangan Al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, para jenderal Turki berhasil mengontrol pemerintahan sejak kematian Al-Mutawakkil,  sehingga khalifah selanjutnya hanya dijadikan sebagai “boneka“  atau simbol seperti khalifah Al-Muntashir, Al-Musta‘în, Al-Mu‘tazz, Al-Mahdî.

Pada periode ini, Terdapat 13 Khalifah yang memerintah, yaitu  Al-Mutawakkil (232-247 H./847-861 M.), Al-Muntashir (247-248 H./861-862 M.), Al-Musta‘în (248-252 H./862-866 M.), Al-Mu‘tazz (252-256 H./866-869 M.), Al-Muhtadî (256-257 H./869-870 M.), Al-Mu‘tamid (257-279 H./870-892 M.), Al-Mu‘tadid (279-290 H./892-902 M.), Al-Muktafî (290-296 H./902-908 M.), Al-Muqtadir (296-320 H./908-932 M.), Al-Qâhir (320-323 H./932-934 M.), Ar-Râdlî (323-329 H./934-940 M.), Al-Muttaqî (329-333 H./940-944 M.), Al-Muktafî (333-335 H./944-946 M.).Setelah orang-orang Turki  mulai melemah karena persaingan di antara mereka sendiri, khalifah ar-Râdlî menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad ibn Râ'iq, gubernur Wasith dan Bashra. Namun demikian, walaupun Muhammad ibn Râ'iq diberi gelar amîr al-umarâ', keadaan Abbasiyah bukan menjadi lebih baik, dari dua belas khalifah pada periode ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar. Selebihnya, kalau tidak dibunuh, mereka diturunkan dari tahta.

Di antara faktor penting yang menyebabkan mundurnya dinasti Abbasiyah pada periode ini adalah:
1. Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi sangat lambat.
2. Profesionalisasi tentara, sehingga menyebabkan Abbasiyah sangat tergantung pada mereka (padahal, para tentara terdiri dari orang-orang Turki).
3. Kesulitan keuangan, diakibatkan pembiayaan tentara sangat tinggi. 3. Periode Pengaruh Persia kedua (334 H./945 M.–447 H./1055 M.)

Periode ini berjalan lebih dari 100 tahun, namun secara de facto kekuasaan khalifah dilucuti dan bermunculan dinasti-dinasti baru. Kemunculan dinasti Buwaihiyah ini pada awalnya untuk menyelamatkan khalifah yang jatuh sepenuhnya di bawah kekuasaan para pengawal yang berasal dari Turki. Dominasi Buwaihiyah dimulai sejak diangkatnya Ahmad ibn Buwaihî oleh khalifah Al-Muktafî sebagai jasanya dalam menyingkirkan pengawal-pengawal Turki. Ahmad ibn Buwaihî diangkat sebagai amîr al-umarâ' dan diberi gelar Mu‘izz ad-Daulah yang justru berikutnya menjadi senjata makan tuan guna menurunkan khalifah.

Pada masa ini dinasti Abbasiyah menghadapi dua problem yang besar yaitu: (1) Adanya pemerintah  tandingan, yaitu berdirinya Fathimiyah (967-1171 M.), dinasti Samaniyah di Khurasan (847-1055 M.), Hamidiyah di Suriah (924-1003 M.), Umayyah di Spanyol (756-1030.), Ghaznawiyah di Afghanistan (962-1187 M.). (2) Adanya perang ideologi antara Syiah dan Sunni.

Meskipun demikian, pada periode ini perkembangan ilmu pengetahuan masih mengalami perkembangan. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-Fârâbî (870-950 M.), Ibn Sînâ (980-1037 M.), Al-Bîrûnî (973-1048 M.), Ibn Miskawaih (930-1030 M.), dan kelompok studi Ikhwân ash-Shafâ'.
Terdapat sederet nama penguasa yang berasal dari Buwaihi, yakni Mui‘zz ad-Daulah (942-967 M.), ‘Izz ad-Daulah (967-977 M.) ‘Âdldl ad-Daulah (977-982 M.), Syaraf ad-Daulah (982-989 M.), Bahâ' ad-Daulah (989-1012 M.), Sulthân ad-Daulah (1012-1020 M.), Musyrif ad-Daulah (1020-1025 M.), Jalâl ad-Daulah (1025-1043 M.), ‘Imâd ad-Daulah (1043-1048 M.), Abû Nashr Mâlik ar-Rahîm (1048-1055 M.)4. Periode Pengaruh Turki kedua (447 H./1055 M.–590 H./1194 M.) Masa ini berawal ketika Saljuk mengontrol kekuasaan Abbasiyah dengan mengalahkan bani Buwaihi, dan berakhir dengan serbuan tentara mongol. Kekuasaan Saljuk berawal ketika penduduk Baghdad marah atas tindakan jenderal Arselan Basasieri yang memaksa rakyat Baghdad untuk menganut Syiah dengan cara menahan khalifah Al-Qâ'im (423-468 H./1031-1075 M.) dan menghapuskan nama-nama khalifah Abbasiyah dan menggantikannya dengan nama-nama khalifah Fathimiyah. Namun kondisi ini tidak berlangsung lama dengan dikalahkannya Arselan oleh tentara bayaran Tughrul Bey, yang pernah menjadi tentara bayaran Abbasiyah. Atas jasanya ini, khalifah Al-Qâ'im menobatkannya sebagai penguasa yang sah dan resmi dengan gelar Sulthân wa Mâlik asy-Syarq wa al-Maghrib, serta mengawinkannya dengan putri Al-Qâ'im.

Pada periode ini khalifah Abbasiyah hanya memiliki wewenang dalam bidang keagamaan saja, para khalifah itu adalah Al-Muqtadî (468-487 H./1075-1094 M.), Al-Mustazhir (487-512 H./1094-1118 M.), Al-Mustarshid (512-530 H./1118-1135 M.), Ar-Rasyîd (530-531 H./1135-1136 M.), Al-Muqtafî (531-555 H./1136-1160 M.),  Al-Mustanjî (555-566 H./1160-1170 M.), Al-Mustadî (566-576 H./1170-1180 M.), An-Nâshir (576-622 H./1180-1225 M.), Adz-Dzâhir (622-623 H./1225-1226 M.),  Al-Mustanshir (623-640 H./1226-1242 M.) Al-Musta‘shim (640-656 H./1242-1258 M.). Sedangkan bidang lainnya berada di bawah dominasi Turki, dengan sederet nama penguasa sebagai berikut: Tughrul Bey (1058-1063 M.), Alp Arselan (1063-1072 M.), Maliksyah (1072-1092 M.), Barkiyaruq (1092-1117 M.), Mahmûd ibn Muhammad (1117-1119 M.), Sanggar (1119-1131 M.), Tughrul II (1131-1134 M.), Mas‘ûd ibn Muhammad (1134-1154 M.).

Pemerintahan Abbasiyah yang didominasi oleh pengaruh Turki kedua ini berlangsung sekitar 102 tahun. Rentang waktu yang cukup lama ini dikarenakan beberapa faktor, antara lain:
Adanya visi pada diri penguasa Saljuk seperti Alp Arselan dan Maliksyah.
Adanya kesatuan kokoh antar keluarga Saljuk, yaitu (1) Saljuk Persia yang berkuasa di Baghdad, (2) Saljuk Kirmân, (3) Saljuk Syria, (4) Saljuk Iraq, (5) Saljuk Rûm.
Paham umum Saljuk yang sama dengan paham umum rakyat yaitu sunni. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan juga berkembang pada masa ini. Adalah Nidzâm al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malisksyah mendirikan madrasah Nidzâmiyah (1067) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang madrasah ini tersebar diwilayah Iran dan Khuraran. Banyak para cendekiawan yang lahir dari lembaga pendidikan ini, antara lain Az-Zamakhsyarî, Al-Qusyairî dan Al-Ghazâlî.

Setelah berakhirnya Mas‘ûd ibn Muhammad yang menghabisi kekuasaan Saljuk, maka kekhalifahan Abbasiyah dikacaukan lagi dengan adanya kaum Khuarzamsyah dari Turki yang dulunya menjadi pembantu Saljuk yang kemudian manamakan dirinya dengan Atabeg (Bapak raja/Amir). Berkuasanya kaum Khuarzamsyah dibawah kepemimpinan Sultan ‘Alâ' ad-Dîn Takash memaksa khalifah An-Nâshir (576-622 H/1180-1225 M.), khalifah ke-34, untuk mencari dukungan dari luar, dari bangsa Tartar-Mongol guna menghancurkan lawan politiknya. Dan sikap inilah yang akhirnya menjadikan dinasti Abbasiyah jatuh di tangan Mongol pada masa Hulagu Khan cucu Jengis Khan. Dikarenakan bantuan yang diharapkan untuk menghancurkan Khuarzamsyah, justru memusnahkan Baghdad dan kota Islam lainnya.
 5. Periode Kemunduran (590 H./1194 M.–656 H./1258 M.)
Pada periode ini Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan menunjukkan melemahnya kekuasaan politiknya. Hingga akhirnya pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan berarti (656 H./1258 M.).Adapun faktor yang mengakibatkan hancurnya dinasti Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi dua, internal dan eksternal. Faktor internal meliputi: (1) adanya persaingan yang tidak sehat antara bangsa-bangsa yang terhimpun dalam dinasti Abbasiyah, terutama Arab, persia dan Turki. (2) Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah. (3) Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari Baghdad. (4) Kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik.

Sedangkan faktor eksternal meliputi: (1) Perang Salib yang terjadi beberapa gelombang, (2) hadirnya tentara Mongol di bawah pimpinan Hulaghu Khan. Dari ulasan periodeisasi di atas terlihat jelas bahwa dinasti Abbasiyah lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluaasan kekuasaan wilayah dan kekuatan militer. Inilah perbedaan pokok antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayyah.
Di samping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Abbasiyah yang tak terdapat dizaman dinasti Umayyah yaitu: (a) Ibukota dipindahkan ke Baghdad, akibat perpindahan ini, pemerintahan dinasti Abbasiyah menjadi jauh dari pegaruh dari Arab. Sedangkan dinasti Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Dalam periode pertama dan ketiga, pemerintahan Abbasiyah yang memunyai pengaruh kebudayaan Persia yang sangat kuat dan pada periode kedua dan keempat bangsa turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini. (b) Penyelenggaraan negara pada masa dinasti Abbasiyah terdapat jabatan Al-Wazîr, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ditemukan dalam pemerintahan dinasti Umayyah. (c) Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, sebelumnya, tidak ada tentara khusus yang profesional.

Sekolah Kuttab Tarbawi Payakumbuh, Menyatukan Value dan Knowledge

Pada hakikatnya pendidikan itu ada 2 hal yang harus ditanamkan pada peserta didik. Transfer of knowledge dan transfer of value. Transfer ...